• Home
  • About

GEMA NURANI

Latest Strategic News for Progressive Indonesia

  • Ekonomi
  • Politik
  • Kampus
  • Multimedia
  • Opini
  • Koperasiana
You are here: Home / Opini / Islam dan Pancasila

Islam dan Pancasila

Saturday, 31 December 2011 By Fitrah Hamdani

Pancasila sebagai Asas

Menjawab kegelisahan dan kekhawatiran itu, kiranya patut menengok kembali dan memikir ulang bagaimana desain implementasi yang efektif guna meneguhkan Pancasila sebagai asas dan dasar negara, terlebih relasi integratifnya (keterpaduan) dengan Islam yang menurut penulis perlu mendapat sorotan.

Keampuhan Pancasila menjawab problem bangsa tidak diragukan lagi. Keberlanjutan dan kedirian Indonesia sehingga bisa lepas dari jerat konflik ideologis atau tarik-menarik peletakan ide dasar negara tak lepas dari kontribusi Pancasila. Pancasila terbukti mampu menjadi payung bersama mengakurkan, menjumpakan, dan mengayomi identitas bangsa yang beragam mulai dari budaya, agama, bahasa, etnis.

Meminjam bahasa Nurcholis Madjid (Alm), Pancasila merupakan praktik cerdas yang juga pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam khasanah politik Islam. Pancasila memiliki semangat yang sama dengan Piagam Madinah dimana keduanya lahir atas tuntutan menjawab realitas yang memiliki ragam kepentingan dan kebutuhan.

Keberkaitan antara Islam dan Pancasila tidak hanya terletak pada upaya menjadikan sejarah dakwah Islam sebagai cermin bagi Pancasila. Seperti terlihat dalam sejarah, persinggungan Islam dan Pancasila mengalami pasang surut, yakni pilihan antara keduanya untuk bertengger menjadi dasar negara, walau pada akhirnya kelompok-kelompok “anti Pancasila” harus menerima rasionalisasi atau alasan mengapa Pancasila lebih berpengharapan menjadi dasar negara, atau tepatnya ideologi.

Pluralitas sebuah Sunnatullah

Sebagaimana penilaian Syafi’i Ma’arif (2000), sebuah rahmat yang harus disyukuri Indonesia memilih Pancasila dengan pertimbangan keniscayaan akan realitas plural. Dengan kata lain, jika saja Islam, atau agama tertentu dipilih, kekacauan dan kemurkaan berpotensi menimpa bangsa ini. Keberagaman dalam tubuh bangsa ini merupakan sunnatullah yang mesti dijawab dengan ideologi yang berfalsafah tidak menentang sunnatullah itu. Menentang sunnatullah, berarti memberi pintu lebar-lebar munculnya ketidakseimbangan dan kekacauan.

Syafi’i Ma’arif juga berargumen bahwa secara prinsip agama tidak bisa disejajarkan dengan politik. Menjadikan Islam sebagai dasar negara sama dengan mencampuradukkan antara wilayah yang sakral dengan yang profan. Artinya, Islam sejatinya suci, dan mulia. Sementara negara bersifat duniawi dan temporal, dua wilayah yang jika dipaksakan dapat menggerus idealisme agama.

Kendati demikian, bukan berarti tidak ada celah untuk menyatukan politik dan Islam. Islam akan lebih proporsional jika ditempatkan sebagai pengawal kehidupan atau praktek-praktek  politik agar wajah politik tidak kering dari nilai-nilai agama. Semangat universal Islam seyogyanya dihadirkan ditengah dinamika politik tanpa mengambil bentuk atau kerangka formal.

Dari pandangan di atas, yakni Pancasila sebagai rahmat, tentunya tidak hendak memposisikan Islam bukan sebagai pandangan hidup. Bagaimanapun, antara prinsip Pancasila dan Prinsip Islam harus lebih dikedepankan Islam. Pancasila merupakan falsafah hasil olah pikir dan pengalaman yang bersifat empiris. Sementara Islam merupakan agama wahyu yang diturunkan oleh Allah untuk dijadikan jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, mendesak kiranya dan dipaksa-pikirkan untuk terus-menerus melakukan upaya memediasi agar terjadi dialog antara Islam dan Pancasila baik di tataran ide maupun praktik.

Konsepsi Bersama

Pancasila mau tidak mau ditempatkan sebagai falsafah yang terus mencari dan memperbaiki untuk kesempurnaan, dalam proses pembumiannya akan lebih tepat tampaknya jika belajar dari cara atau strategi yang dipernah di lakukan oleh Muhammad SAW dalam mewujudkan masyarakat utama (Masyarakat Madinah). Secara harfiyah, konsepsi masyarakat utama identik dan berkaitan dengan terbentuknya insan-insan kamil yang memiliki keutamaan  sebagai hamba Allah, sebagai manusia yang berguna bagi sesama dan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi akhlaqul karimah yang diteladankan Muhammad SAW.

Proses-proses internalisasi (bukan doktrinasi) pemahaman dan objektivikasi (secara sadar dan objektif) Pancasila yang jauh-jauh hari telah dilakukan dalam berbagai bentuk dan media, penting mengikutsertakan atau mengkaitkannya dengan Islam. Hal ini dilakukan agar terbentuk semacam kesepemahaman dan konsepsi bersama dalam melihat Islam dan Pancasila. Antar keduanya tidaklah harus dipandang secara diametral, tapi saling melengkapi dan menyempurnakan. Proses-proses pembumian Pancasila pun seyogyanya mencapai ke fase eksternalisasi, memberi kebermanfaatnan atau dampak positif agar kecintaan terhadap bangsa dan negara tertanam kuat dalam diri dan benak warga bangsa.

Pada ranah implementasi, Pancasila sebenarnya sudah memiliki media yang prospek, salah satunya adalah lembaga pendidikan. Hanya saja, yang terjadi selama ini proses-proses itu terjebak pada kerangkeng formalitas yang memberi kesan kaku dan tidak elegan. Selain pendidikan yang lebih bersifat formal, mengapa tidak mengadopsi cara-cara dakwah Islam yang terbukti sukses mengajarkan, memahamkan, dan memberi dampak positif bagi perubahan hidup dan kemajuan pola pikir sebagian besar masyarakat Indonesia? Di sinilah pentingnya dakwah kultural Pancasila. (*)

Berbagi ini:

  • Twitter
  • Facebook
  • LinkedIn
  • Print

Tulisan Lainnya Barangkali Anda Suka

Filed Under: Opini Tagged With: Dasar negara, Falsafah Negara, Identitas Bangsa, Islam, Islam dan Pancasila, Konsepsi bersama, Lambang Negara, masyarakat, Nurcholis Majid, Pancasila, Pancasila sebagai Asas, Pemersatu Bangsa, Piagam Madinah, Pluralitas sebuah Sunnatullah, Politik Islam

Terbaru

Rumah Baca Iqra’ dan Peradaban Kalingga

Kovernya memang rumah baca, tapi tidak kurang tidak lebih, sebenarnya, gambaran ulang tentang Peradaban Kalingga tengah dirintis.

Arief Hidayat Kembali Jabat Hakim Konstitusi untuk 2018-2023

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, dilantik kembali sebagai Hakim Konstitusi periode 2018-2023.

Wimboh Santoso Dilantik sebagai Ketua MES 2018-2021

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso, dilantik sebagai Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah periode 2018-2021.

Langganan via email

Silahkan isikan alamat email Anda untuk berlangganan artikel Gema Nurani secara gratis melalui email

Follow me on Twitter

My Tweets

Ekonomi

Termasuk Daerah Ekuator, Letkol Laut (P) Salim: Indonesia Rentan Diadu Domba Asing

Konflik global kini dilatarbelakangi perebutan Daerah Ekuator untuk mencari pangan, air, dan energi.

Politik

Wiranto Menkopolhukam, Letkol Laut (P) Salim: Apakah Kita Punya Strategi Maritim?

Menkopolhukam baru sebaiknya tetap menjaga konsistensi Indonesia terhadap politik luar negeri dan mengutamakan penjagaan kedaulatan dan sumberdaya alam Natuna.

Kampus

Sentuh Wilayah Ekopol, Bedah Buku My Fish My Life Akan Digelar Himaspal UNDIP

Acara bertajuk Maritime Talk, menghadirkan panelis, Staf Ahli Utama Kepresidenan Bidang Maritim, Riza Damanik.

Multimedia

Arief Hidayat Kembali Jabat Hakim Konstitusi untuk 2018-2023

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, dilantik kembali sebagai Hakim Konstitusi periode 2018-2023.

Opini

Rumah Baca Iqra’ dan Peradaban Kalingga

Kovernya memang rumah baca, tapi tidak kurang tidak lebih, sebenarnya, gambaran ulang tentang Peradaban Kalingga tengah dirintis.

Koperasiana

Ekonom UMY: Praktik Ekonomi Komunal Berbadan Hukum Koperasi Mulai Menunjukkan Hasil

Koperasi pada kenyataannya, berhasil menjadi tulang punggung negara-negara kaya di dunia.

Copyright © 2010 - 2017 GEMA NURANI