• Home
  • About

GEMA NURANI

Latest Strategic News for Progressive Indonesia

  • Ekonomi
  • Politik
  • Kampus
  • Multimedia
  • Opini
  • Koperasiana
You are here: Home / Opini / Mengkreasi Sektor Informal

Mengkreasi Sektor Informal

Tuesday, 9 November 2010 By Arif Giyanto

Membangun fondasi perekonomian yang kuat tidak semata bertumpu pada sektor formal. Bila dikelola dengan baik, sektor informal justru jauh lebih menjanjikan. Dengan penanganan khusus, memberi ruang pemberdayaan cukup, dan pendampingan yang tepat, negeri ini akan entas dari masalah pengangguran.

Badan Pusat Statistik melaporkan hal penting pada kuartal pertama tahun 2010. Sebanyak 33,74 juta atau 31,42 persen pekerja Indonesia ternyata bekerja pada kegiatan/sektor formal. Sementara 73,67 juta orang atau 68,58 persen bekerja pada sektor informal. Dari 107,41 orang yang bekerja pada waktu sama, status pekerja utama terbanyak terdiri dari buruh/karyawan, yakni mencapai 30,72 juta atau sekitar 28,61 persen.

Pada urutan kedua, usaha yang dibantu buruh tidak tetap (buruh harian/borongan), sebesar 21,92 juta orang atau 20,41 persen. Sementara mereka yang berusaha sendiri sejumlah 20,46 juta orang atau 19,05 persen. Sisanya, berusaha dengan dibantu buruh tetap.

Jumlah pekerja di sektor informal ternyata sangatlah banyak. Bila selama ini, porsi analisis banyak pakar masih saja berkutat di sektor formal, telah saatnya mengarahkan kecenderungan kebijakan pada sektor informal. Bila hingga hari ini, untuk mendongkrak status sosial, masyarakat masih sangat bergantung pada sektor formal, hendaknya kini mulai dinegoisasikan cara baru untuk menempatkan sektor informal pada tempat selayaknya.

Pada kenyataannya, sektor informal berhasil mengurangi pengangguran di level lumayan. Meski belum signifikan membangun fondasi perekonomian kuat, setidaknya alternatif paling rasional untuk menyiasati gerak sektor formal yang terus melambat, akibat banyak faktor. Kompetisi yang meninggi dan tak berimbang, pasar yang semakin tidak jelas, dan inovasi yang sulit dikendalikan menjadi sebagian alasan mematikan, mengapa sektor formal sulit berkembang.

Ledakan informasi memasok faktor terbanyak dinamisnya preferensi konsumen. Asimetri informasi meningkatkan kompleksitas menjadi tahap overload. Banyak orang yang kemudian bingung membeli barang. Banyak orang yang kemudian ragu pada keputusannya. Banyak orang yang kemudian tak tahu harus berbuat apa. Semua menjadi absurd lantaran referensi membludak.

Barang konsumsi yang pada kenyataannya baik, belum tentu dapat diserap pasar, lantaran kurang promosi. Sementara bisa jadi, peluang eksis di pasar, gampang didapat bila biaya promosi tinggi. Akhirnya menjadi tidak penting, apa yang akan dikonsumsi, siapa yang membuatnya, hingga apa efek dari semuanya. Ya, benar-benar membingungkan. Publik bingung mengonsumsi, dan bingung karena tak dapat masuk ke sektor informal.

Bisnis formal lesu, lantaran inovasi dapat dirumuskan di mana pun. Peluang sektor informal untuk menjadi prioritas semakin meninggi, karena ruang eksperimen produk yang lebih tinggi. Sering kali tak dapat ditebak, tanpa perangkat teknologi yang cukup, tiba-tiba masuk dalam pasar barang-barang berkualitas. Satu per satu, pelayanan bahkan menjadi distributif-personal; bukan lagi massa.

People-Oriented
Sebenarnya, menjadikan sektor informal sebagai prioritas utama akan berujung pada pengoptimalan interaksi sosial. Lantaran tidak banyak kalangan yang dapat terserap ke sektor formal menyebabkan sektor informal dipenuhi orang. Orientasi kebijakan pada sektor informal berarti berurusan dengan pihak yang memiliki jumlah terbanyak. Ini yang kemudian disebut people-oriented.

Seperti disebut banyak pakar, bahwa era ini adalah era di mana dukungan publik menjadi hal penting eksis atau tidaknya sesuatu. Tanpa dukungan merata, perubahan tidak akan terwujud. Sistem masyarakat informasi seperti sekarang memaksa siapa pun untuk berpikir keras tentang pelibatan banyak pihak, bila eksistensi ingin diakui. Tak urung di belahan politik, ekonomi, sosial, budaya, atau yang lain.

Setiap langkah akan membangun jejaring besar yang mendudukkan banyak orang pada tempatnya. Tidak mengapa bila perusahaan tidak mampu menerima mereka sebagai karyawan. Tidak mengapa pula bila negara tidak dapat menjadikan mereka pegawai negeri sipil. Tidak mengapa pula bila mereka dilahirkan tak berkecukupan modal. Ada cara tepat menyiasati semua itu dengan memberikan porsi besar pada kalangan yang dapat mengolah potensinya sendiri.

Menggunakan prinsip fungsional, bahwa semua orang memiliki potensi masing-masing, pengerahan tenaga kerja di sektor informal berdampak signifikan bagi pengembangan potensi sebuah negara. Kreativitas dan ketekunan menjadi kunci pembuka kesempatan dan peluang eksis. Dengan bekerja sama dan didukung sistem besar yang mendukung cara kerja kaum informal, akan berujung pada kesuksesan luar biasa.

Pemberdayaan
Lebih lanjut, memberikan ruang besar pada siapa pun untuk mengembangkan gagasan mandiri jelas memberi arti positif bagi maju atau tidaknya sektor informal. Ruang itu dapat berupa rekomendasi inovasi, jaringan, hingga permodalan. Menghadirkan eksperimen seluas-luasnya dalam berusaha akan menghasilkan kultur sehat, tentang masyarakat mandiri yang tidak terlalu tergantung pada modal besar atau pemerintah.

Masyarakat hanya butuh sedikit alat untuk berkembang. Mereka lebih tahu, apa yang mereka mau dan apa yang mereka seharusnya lakukan. Mereka juga telah lama membangun sistem sosial yang memadai untuk berkembang. Namun terkadang, mereka tak dapat bekerja bersama, lantaran perbedaan situasi dan etos kerja yang tidak terlalu baik.

Sektor informal membutuhkan tangan-tangan agresif, yang yakin bahwa potensi besar justru datang dari kalangan yang tahu, bahwa terhubung dengan banyak orang adalah kunci eksis tidaknya ekonomi.

Sesaat setelah distimulasi, masyarakat akan berubah agresif, lantaran sangat berhubungan dengan hajat hidup mereka. Logikanya sederhana, selama apa yang mereka lakukan dapat memenuhi kebutuhan mereka, apa pun dapat saja ditempuh. Dengan stimulasi, secara agregat dan alamiah, mereka akan menjadikannya peluang untuk maju, bahkan berkelanjutan di masa depan. Jadi jelas, mereka hanya butuh sedikit sentuhan untuk membangun kehidupan mereka.

Peran Pemerintah
Terakhir, mari membicarakan peran pemerintah; apakah selama ini, mereka memahami potensi sektor informal yang luar biasa itu. Banyak kejadian mengerikan menimpa kalangan informal, hanya karena tidak dimanajemeni dengan baik. Selaksa cerita tentang penggusuran lapak-lapak PKL di beberapa kota besar. Miris rasanya melihat hak kalangan sektor informal menjadi ilegal, hanya karena pemerintah tidak mengetahui, cara mengoptimalkan potensi mereka.

Pada satu sisi, kalangan informal seperti tampak merepotkan. Mereka memenuhi jalan-jalan, dan menjadikan kota semerawut. Namun di sisi lain, sebenarnya merekalah pemasok pendapatan besar untuk pemerintah. Bayangkan, bila tak ada mereka, buruh yang gajinya kecil akan kesulitan hidup. Ya, sektor informal menyediakan servis cukup, dengan harga terjangkau.

Bila menggunakan kekerasan, dilema pembangunan sektor informal akan menemui jalan buntu. Potensi mereka yang besar akan terus dimaknai sebagai pengganggu atau perusak tata kota. Padahal, dengan upaya khusus yang maksimal, kalangan informal dapat menjadi pendukung terbesar maju tidaknya perekonomian.

Beruntung bagi daerah yang memiliki pemimpin dengan visi pengembangan sektor informal. Rakyat akan kerasan dengan perannya sebagai pemberi mandat, lantaran diberi ruang untuk berkembang. Sementara para pejabat dan wakil rakyat juga dapat menjalankan amanah, dengan memberi prioritas penting pembangunan masyarakat yang sesungguhnya. Untuk kemandirian dan keunggulan bangsa.

Berbagi ini:

  • Twitter
  • Facebook
  • LinkedIn
  • Print

Tulisan Lainnya Barangkali Anda Suka

Filed Under: Opini Tagged With: formal, indonesia, informal, pekerja, pemberdayaan, perekonomian, sektor

Terbaru

Rumah Baca Iqra’ dan Peradaban Kalingga

Kovernya memang rumah baca, tapi tidak kurang tidak lebih, sebenarnya, gambaran ulang tentang Peradaban Kalingga tengah dirintis.

Arief Hidayat Kembali Jabat Hakim Konstitusi untuk 2018-2023

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, dilantik kembali sebagai Hakim Konstitusi periode 2018-2023.

Wimboh Santoso Dilantik sebagai Ketua MES 2018-2021

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso, dilantik sebagai Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah periode 2018-2021.

Langganan via email

Silahkan isikan alamat email Anda untuk berlangganan artikel Gema Nurani secara gratis melalui email

Follow me on Twitter

My Tweets

Ekonomi

Termasuk Daerah Ekuator, Letkol Laut (P) Salim: Indonesia Rentan Diadu Domba Asing

Konflik global kini dilatarbelakangi perebutan Daerah Ekuator untuk mencari pangan, air, dan energi.

Politik

Wiranto Menkopolhukam, Letkol Laut (P) Salim: Apakah Kita Punya Strategi Maritim?

Menkopolhukam baru sebaiknya tetap menjaga konsistensi Indonesia terhadap politik luar negeri dan mengutamakan penjagaan kedaulatan dan sumberdaya alam Natuna.

Kampus

Sentuh Wilayah Ekopol, Bedah Buku My Fish My Life Akan Digelar Himaspal UNDIP

Acara bertajuk Maritime Talk, menghadirkan panelis, Staf Ahli Utama Kepresidenan Bidang Maritim, Riza Damanik.

Multimedia

Arief Hidayat Kembali Jabat Hakim Konstitusi untuk 2018-2023

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, dilantik kembali sebagai Hakim Konstitusi periode 2018-2023.

Opini

Rumah Baca Iqra’ dan Peradaban Kalingga

Kovernya memang rumah baca, tapi tidak kurang tidak lebih, sebenarnya, gambaran ulang tentang Peradaban Kalingga tengah dirintis.

Koperasiana

Ekonom UMY: Praktik Ekonomi Komunal Berbadan Hukum Koperasi Mulai Menunjukkan Hasil

Koperasi pada kenyataannya, berhasil menjadi tulang punggung negara-negara kaya di dunia.

Copyright © 2010 - 2017 GEMA NURANI